Icnews – Jakarta – Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Perhimpunan Gerakan Nusantara Raya (DPP PGNR), Oktaria Saputra, S.E.,M.Si, menegaskan bahwa gelombang aspirasi rakyat yang dikenal sebagai “17+8 Tuntutan Rakyat” adalah tanda jelas bahwa bangsa ini tengah menghadapi krisis kepercayaan terhadap penyelenggara negara.
“Ini bukan sekadar tren di media sosial, bukan pula seruan jalanan. Ini suara rakyat yang sudah terlalu lama dikecewakan. Suara yang menolak korupsi, menolak privilese politik, dan menolak arogansi kekuasaan. Pemerintah tidak boleh lagi berpura-pura tuli,” tegas Oktaria dalam keterangannya di Jakarta. Sabtu (06/06/2025)
Tuntutan rakyat terangkum dalam 25 poin utama. Sebanyak 17 tuntutan jangka pendek ditujukan untuk segera dipenuhi sebelum 5 September 2025, sementara 8 tuntutan jangka panjang harus dituntaskan paling lambat 31 Agustus 2026. Isinya jelas: tarik TNI dari ranah sipil, usut tuntas kekerasan aparat terhadap demonstran, batalkan kenaikan tunjangan DPR, buka transparansi anggaran, hentikan praktik represif aparat, bebaskan seluruh tahanan aksi, serta pastikan upah layak dan perlindungan pekerja.
Dalam jangka panjang, rakyat menuntut reformasi struktural: pembenahan DPR dan partai politik, pengesahan Undang-Undang Perampasan Aset Koruptor, reformasi kepolisian agar lebih profesional, kembalinya TNI sepenuhnya ke barak, penguatan lembaga pengawas independen seperti Komnas HAM, hingga evaluasi kebijakan ekonomi dan ketenagakerjaan yang dianggap menekan rakyat kecil.
Pada 4 September 2025, dokumen resmi tuntutan telah diserahkan langsung kepada DPR melalui Andre Rosiade dan Rieke Diah Pitaloka. Menurut Oktaria, penyerahan ini menjadi bukti bahwa “17+8 Tuntutan Rakyat” adalah dokumen politik yang sahih, bukan sekadar tagar viral.
“DPR jangan hanya menjadi pendengar pasif. Presiden pun harus menjawab dengan tindakan nyata. Jika tuntutan ini diabaikan, jurang ketidakpercayaan rakyat terhadap negara akan semakin menganga,”tegasnya.
Menutup pernyataannya, Oktaria menekankan bahwa tuntutan ini adalah alarm perubahan bangsa. “Sejarah selalu berpihak pada keberanian rakyat. Rakyat telah bersuara, dengan air mata dan darah mereka yang jatuh di jalanan. Bila negara masih menutup mata, maka bukan hanya kepercayaan yang hilang, melainkan juga martabat bangsa. Pilihannya sederhana: berpihak pada rakyat atau tenggelam bersama runtuhnya kepercayaan publik.”