Rizky Ardiyansyah Sholeh
AKTIVIS MUDA PEMBAHARUAN SUMSEL
Selasa (19/8/2025)
ICNEWS – Delapan puluh tahun bukan waktu yang sebentar. Bangsa ini sudah melewati jalan panjang sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 dikumandangkan. Dengan penuh keyakinan, para pendiri bangsa memproklamasikan kemerdekaan sebagai tonggak awal Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Namun, pertanyaan besar muncul setiap kali kita memperingati hari kemerdekaan: sudahkah bangsa ini benar-benar merdeka?
Jika merdeka artinya bebas dari penjajahan asing, maka jawabannya iya. Tetapi jika merdeka artinya lepas dari segala bentuk penindasan, ketidakadilan, dan kesewenang-wenangan, maka bangsa ini masih jauh dari kata merdeka. Faktanya, justru setelah 80 tahun merdeka, rakyat Indonesia masih dijajah oleh bangsanya sendiri.
Korupsi: Musuh Bangsa yang Tak Pernah Hilang
Korupsi sudah menjadi penyakit kronis yang menggerogoti sendi-sendi bangsa. Alih-alih berkurang, praktik ini semakin rapi, semakin sistematis, bahkan melibatkan pejabat-pejabat tinggi yang seharusnya menjaga amanah rakyat. Rakyat bekerja keras membayar pajak, sementara uangnya dikorupsi untuk kepentingan pribadi segelintir elit. Bukankah ini bentuk penjajahan gaya baru? Bedanya, kali ini penjajahnya bukan bangsa asing, melainkan anak negeri sendiri.
Kekayaan Alam Dikuasai, Rakyat Terpinggirkan
Indonesia dikenal sebagai negeri yang kaya raya, dari tambang emas, batubara, nikel, hingga minyak dan gas bumi. Namun siapa yang menikmati kekayaan itu? Apakah rakyat kecil di desa-desa yang bisa merasakan manfaatnya? Nyatanya tidak. Justru rakyat di sekitar tambang hidup dalam kesengsaraan, dengan lingkungan rusak dan kesehatan terganggu. Kontras dengan para pengusaha besar dan pejabat yang hidup mewah dari hasil eksploitasi alam.
Kesenjangan Sosial yang Kian Melebar
Di satu sisi, ada segelintir orang yang bisa dengan mudah menghamburkan uang untuk gaya hidup mewah. Di sisi lain, jutaan rakyat masih kesulitan memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Akses pendidikan masih timpang, kesehatan masih jadi barang mahal, dan lapangan pekerjaan tidak sebanding dengan jumlah pencari kerja. Slogan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” seolah tinggal tulisan indah di atas kertas, tanpa pernah benar-benar diwujudkan dalam kehidupan nyata.
Merdeka Jangan Sekadar Seremonial
Setiap tahun, bendera merah putih dikibarkan dengan penuh kebanggaan. Upacara digelar megah, pidato pejabat berisi kata-kata manis tentang nasionalisme dan semangat kemerdekaan. Namun setelah semua selesai, rakyat kembali menghadapi kenyataan pahit: harga kebutuhan pokok naik, biaya hidup makin berat, dan kebijakan pemerintah sering kali lebih berpihak pada pemilik modal ketimbang rakyat kecil. Merdeka jangan hanya jadi seremonial tahunan tanpa makna nyata.
80 Tahun: Saatnya Evaluasi Besar-besaran
Delapan puluh tahun kemerdekaan seharusnya jadi momentum refleksi nasional. Bangsa ini harus berani jujur mengakui bahwa ada yang salah dalam cara kita mengelola negeri ini. Merdeka tidak boleh berhenti pada bebas dari penjajahan asing, tapi harus diwujudkan dalam kesejahteraan nyata, keadilan sosial, serta keberanian untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
Jika tidak, maka merdeka hanya tinggal nama. Rakyat tetap miskin di tanah yang kaya, tetap terjajah di negeri yang katanya sudah bebas. Ironisnya, penjajahan kali ini justru lebih menyakitkan—karena dilakukan oleh bangsa sendiri terhadap bangsanya sendiri.
Penutup: Saatnya Generasi Muda Berdiri
Merdeka 80 tahun harusnya jadi alarm kebangkitan bagi seluruh rakyat, terutama generasi muda. Jangan lagi kita terlena dengan euforia seremonial dan kata-kata manis dari elit politik. Sudah cukup rakyat ditipu janji, sudah cukup bangsa ini dipermainkan.
Generasi muda harus berani berdiri di garis depan, melawan segala bentuk penjajahan gaya baru: korupsi, keserakahan elit, perampasan sumber daya alam, dan ketidakadilan sosial. Karena kalau kita diam, maka bangsa ini akan terus diseret masuk dalam jurang ketidakpastian, sementara kemerdekaan hanya jadi mitos yang dirayakan setiap 17 Agustus tanpa makna.
Merdeka sejati adalah ketika rakyat bisa hidup layak di tanahnya sendiri. Merdeka sejati adalah ketika hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. Merdeka sejati adalah ketika keadilan benar-benar hadir bagi semua, bukan hanya untuk mereka yang berkuasa.
Delapan puluh tahun kemerdekaan adalah cermin: apakah kita mau terus jadi bangsa yang pura-pura merdeka, atau berani memperjuangkan kemerdekaan yang sejati. Jawabannya ada di tangan kita, generasi muda. Jangan biarkan Indonesia terus dijajah oleh bangsanya sendiri.












